Rabu, 03 Juni 2009

Agama Melawan Kemiskinan. Hhmmm...

Ada Sebuah artikel yang pernah saya baca di sebuah blog dengan judul AGAMA MELAWAN KEMISKINAN. Selain menarik untuk di baca menarik juga untuk dipikirkan.
Agama Melawan Kemiskinan. Hmmm….
Bagaimana agama melawan kemiskinan ?
Menggunakan apa agama ketika melawan kemiskinan ?
Salah apa kemiskinan, sampai-sampai agama harus melawan ?
Siapa sih “agama” dan “kemiskinan” itu ?, sampai-sampai harus ada yang melawan dan yang dilawan ?
Apakah lebih baik jika kita bertanya :
Bagaimana dalam beragama, kita sebagai makhluk milik Allah mengatasi kemiskinan yang menyertai kita ?
Nabi Muhammad SAW dalam ajaran yang diterangkannya : “ Lahaula Walakuata illa billahil aliyul adzim “ Tiada daya upaya dan kekuatan akan tetapi semuanya keagungan Allah. Dari pelajaran ini di dapat bahwa ; nabi Muhammad, secara keasliannya merasa tidak memiliki apa-apa (kemiskinan). Namun bukan berarti nabi tidak menikmati banyaknya rezeki/ harta yang dirizkikan kepadanya.
Coba kita ambil Ilmu Perbandingan, lebih baik mana ?
Disertai harta yang banyak tetapi menikmati tidak memiliki apa-apa, karena menyakini bahwa segala sesuatu itu hanya keagungan Allah SWT
Tidak disertai harta banyak, dan merasakan bahwa kemiskinan adalah keagungan Allah SWT
Kemiskinan dan kekayaan adalah makhluk milik Allah, yang menyertai makhluk lain yang yang semua itu keagungan Allah SWT.
Manusia yang disertai akal dan ilmu pengetahuan, ada baiknya berpikir, bagaimana cara mengatasi kemiskinan dan kekayaan agar mendapatkan keseimbangan dalam tata hidup dan kehidupan manusia dari dunia sampai akhirat…mungkinkah ?
Mulailah dari diri pribadi.
Mulailah dari hal kecil atau besar supaya netral/seimbang
Mulailah saat ini
( karena sesuatu yang terlewat tidak akan pernah bisa kembali lagi pada saat sebelumnya).

TAUHID DAN AL-BASMALAH

TAUHID DAN BISMILLAH

Sangatlah Tentu, semua yang menganut agama Islam tidak ada yang tidak tahu terhadap kalimah Al Basmallah, malahan yang tidak menganut agama islam juga banyak yang mengetahui. alasannya kalimah Al Basmallah itu jika diibaratkan Sungai, ibarat Kepala atau Hulu/Sumber sungainya, hanya saja Kalimah Al Basmallah adalah Kepala Kalimah Surat-surat AlQur'an. Dan Al Qur'an itu adalah Pokok Undang-undang Dasar Agama Islam, Jadi Kalimah Al Basmallah itu ialah Sumber Iman Islam. Jika Belajar Agama Islam dari Kalimah Al Basmallah terlebih dahulu, itu seperti yang menyusuri Sungai dari Hulu ke Hilir, tentu tidak akan tersesat, tidak akan salah arah ke Sungai yang bermuara ke Sungai itu. tapi Sebaliknya, yang menyusuri sungai dari hilir ke hulu, tentu akan tersesat seperti ketika menemukan muara. Jika tidak ada yang menunjukkan atau pun ada yang menunjukkan juga mendadak tidak akan percaya kepada yang menunjukkan jalan, sebab sungai yang bermuara tersebut sama lebarnya dengan Sungai yang disusuri sebelumnya malahan lebih lebar, tentulah Jadi tersesat. Begitu Juga yang belajar agama islam, menyusurinya dari hulu/sumbernya dahulu, yaitu dari kalimah Al Basmallah, tentu tidak akan tersesat sebab dari Hulu ke hilir, jadi dalam mengetahui Tauhid Kepada Allah Ta'alla itu tidak akan Musrik, yaitu menyamakan atau menyerupakan Allah Ta'allah dengan mahluk-Nya, Seperti Itikadnya dan Ucapannya yang tidak menganut iman islam.
Dari tulisan kutipan di atas ditegaskan bahwa untuk belajar agama islam, agar dimulai dengan mempelajari dan mengerti terlebih dahulu mengenai Kalimah Al-Basmalah karena merupakan pokok ilmu Usuludin Agama Islam.
Yang disebut Al-Basmalah itu :

Yang asalnya dari lapadz : Bi Ismin, Allahu, Ar-rohmanu. Ar-Rohimu
Bi Ismin = Dengan nama, yaitu lapadz Allah, lapadz Rohman, lapadz Rohim
Jelasnya Yaa Allahu, Yaa Arrohmanu, Yaa Arrohimu ialah Nama-nama Allah.
Ar-rohmanu adalah salah satu nama Allah, yang perkaranya yaitu Nikmat Panjang dari Dunia sampai Akhirat.
Ar-rohiimu adalah salah satu nama Allah, yang perkaranya yaitu Nikmat Pendek hanya di Dunia saja.
Tinggal Umat Islam, bagaimana mensikapi atau berprilaku, apakah akan berbuat yang melanggar undang-undang yang akibatnya bisa panjang juga sampai ke akhirat.Atau sebaliknya, Berbuat kebaikan yang akibatnya juga sampai ke akhirat.

Rabu, 06 Mei 2009

Pembangunan Berbasis Nilai


Pendahuluan:
Mc Iver pakar sosiologi politik pernah mengatakan:“Manusia adalah mahluk yang dijerat oleh jaring-jaring yang dirajutnya sendiri”. Jaring-jaring itu adalah kebudayaan. Mc Iver ingin mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diciptakan oleh masyarakat (socially constructed) tetapi pada gilirannya merupakan suatu kekuatan yang mengatur bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan “pola tertentu”. Kebudayaan bahkan bukan hanya merupakan kekuatan dari luar diri manusia tetapi bisa tertanam dalam kepribadian individu (internalized). Dengan demikian kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia dari luar dan dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah nilai-nilai (values) yang merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika) serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari system nilai inilah kemudian tumbuh norma yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia di dalam bermasyarakat.

Jelas dari uraian diatas bahwa kebudayaan merupakan unsur paling dasar (basic) dari suatu masyarakat, sehingga sampai sekarang sebagian sosiolog dan antropolog masih menganut faham cultural determinism yaitu bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya. Lawrence Harrison dalam bukunya “Culture Matters” menggambarkan bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia (Harrison, 2000). Samuel Huntington memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tigapuluh tahun kemudian Korea telah menjadi negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun dan saat ini GNP per capitanya hanya seperlimabelas Korea Selatan. Ini disebabkan (terutama) karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti: hemat, kerja keras, disiplin dsb. Semua tidak dimiliki masyarakat Ghana.

Perbandingan yang sama bisa juga kita lakukan antara Indonesia dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut merdeka pada tahun yang sama, keduanya sama-sama pernah dijajah oleh Jepang. Sekarang ekonomi dan kebudayaan Indonesia jauh tertinggal dari Korea Selatan. Malaysia yang sama-sama berkebangsaan melayu dan merdeka jauh setelah Indonesia, sekarang juga telah meninggalkan kita.Hal itu belum seberapai bila kita membandingkan diri dengan Singapore. Dalam hal ini tidak berlebihan bila kita menyebut kebudayaan Indonesia sebagai “kebudayaan yang terkalahkan” (defeated culture).

Apakah benar kita merupakan masyarakat dan bangsa yang ditakdirkan untuk terbelakang? Apakah ada yang salah pada kebudayaan kita? Apakah kita harus percaya pada cultural determinism? Pada derajat tertentu faham itu mungkin benar, karena banyak pakar telah menggambarkan bahwa bangsa kita memang memiliki kemiskinan budaya (cultural deficiency) seperti antroplog terkenal Koentjaraningrat serta budayawan terkenal Mochtar Lubis pernah mengupasnya sekitar tahun 70-an. Lalu, apakah kita harus berputus asa?. Apakah kebudayaan merupakan sesuatu yang melekat (inherent) pada suatu masyarakat?, apakah kebudayaan tidak mungkin dirubah atau dibangun?. Tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah:”Apakah kita memang telah membangun budaya kita selama ini?”. Apakah pembangunan kita yang pernah dijuluki sebagai salahsatu dari “the Asian miracle” ini telah membangun juga unsur-unsur budaya?, atau hanya sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata?. Tulisan ini bertujuan untuk melihat lebih jauh masalah pembangunan nilai-nilai di Indonesia serta mencoba untuk mencari format pembangunan yang lebih mengindahkan nilai-nilai.

Analisis situasi Perkembangan Budaya Masyarakat Indonesia.

Bila kita bertanya apa hasil pembangunan di masa orde baru hingga sekarang, maka kita akan mendapatkan berbagai angka-angka perkembangan ekonomi dan daftar panjang sejumlah sarana-prasarana fisik yang telah dibangun. Bagaimana dengan perkembangan sosial budaya kita? Beribu-ribu sekolah, perumahan, Rumah Sakit dan rumah ibadah telah dibangun, tetapi mampukah kita menjawab secara terukur perkembangan kwalitas kehidupan sosial atau budaya kita? Misalnya: ”Apakah masyarakat Indonesia semakin rukun?, semakin mandiri?, semakin peduli?. Sebagian besar orang pasti akan menjawab “tidak”, tetapi tak seorangpun bisa menentukan sejauhmana kemerosotan itu?, karena semua itu memang tidak pernah diukur. Beberapa gejala menonjol dari proses perkembangan nilai-nilai di Indonesia saat ini adalah:

Jurang antara Nilai ideal dan nilai aktual

Apakah masyarakat Indonesia tidak memiliki nilai-nilai luhur?, nilai-nilai adiluhung?, tentu saja punya!, sebut saja Pancasila yang dikagumi banyak bangsa lain, setiap daerah juga punya nilai tradisional yang dibanggakan. Tetapi kita tahu bahwa semua itu hanya merupakan “nilai ideal” (ideal values) sementara itu kehidupan kita sehari-hari dikendalikan dan diarahkan oleh seperangkat nilai-nilai lain seperti materialisme, pragmatisme, egoisme (baik pada tingkat individu, kelompok, daerah, sektor dsb.), hedonisme, permissiveness, opportunisme, primordialisme, dogmatisme. Nilai-nilai inilah yang kita anggap sesuai untuk mempertahankan “survival” di masyarakat modern saat ini. Ini semua adalah real atau actual values. Bangsa lain pasti juga mengalami kesenjangan antara nilai ideal dengan actual, tetapi pada masyarakat kita kesenjangan ini terasa amat dalam bahkan diametral, sehingga kita merasa menjadi bangsa yang munafik atau hipokrit. Pada masa Orde Baru kita menggalakkan penanaman Pancasila tetapi pada saat yang sama pimpinan negara sampai rakyatnya melanggar semua nilai-nilai itu. Di masa reformasi bangsa ini bertekad membasmi KKN, tetapi data menunjukkan bahwa korupsi di masa ini malah lebih merata daripada dimasa Orde Baru. Bangsa ini berteriak anti militerisme, tetapi budaya kekerasan dikalangan sipil semakin marak (semua parpol bangga dengan laskar-laskar sipilnya, budaya perpeloncoan yang sarat “kekerasan dan penyiksaan” terus bertahan di Universitas bahkan menjalar ke sekolah menengah dsb.). (bersambung).

Sabtu, 21 Maret 2009

4 UNSUR ILMU DALAM SURATUL FATIHAH

Menurut Ahli Hikam ada 4 (empat) unsur ilmu di dalam Suratul Fatihah :
1. ILMU KHUSU (KETAUHIDAN)
Terdapat pada ayat 1 (satu)
ayat 2 (dua)
ayat 3 (tiga)
2. ILMU KISOS (HARI PEMBALASAN)
Terdapat pada ayat 4 (empat)
3. ILMU FURU (KERASULAN)
Terdapat pada ayat 5 (lima)
Terdapat pada ayat

LIMA SIKAP DASAR PEMIMPIN MASA DEPAN


1. Sikap Tulus. Ketulusan yang dapat dan mau mengatakan apa yang benar itu adalah benar dan yang salah itu salah.
2. Sikap yang Terbuka, yang Transparan dan tidak menutup-nutupi karena semuanya bersih, luar dan dalam.
3. Sikap berani mengambil resiko dan bertanggung jawab.
4. Konsisten dengan komitmen. Artinya selalu menepati janji, satu tekad, satu kata dan satu perbuatan.
5. Mampu berbagi (sharing) adalah sikap yang tidak egoistis.

ETIKA, MORAL DAN PERILAKU

Moral dan Akhlak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di era malikul akhlak tampak mengalami kemunduran yang ditandai dengan sikap mengenyampingkan etika, moral serta terlintas kecenderungan menghalalkan segala cara untuk mencapai maksud dan tujuan. Nilai-nilai agama dan nilai-nilai moral budaya bangsa dalam hal tertentu kelihatan semakin memudar. Hal ini seiring dengan munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru, fanatisme pada salah satu ulama, fanatisme kedaerahan yang sempit, konflik karena pluralisme, perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika, pelanggaran Hak Asasi Manusia.Warga bangsa yang tidak dapat bertahan dalam polusi kehidupan akan kehilangan identitas atau jatidiri pribadi yang akan melahirkan sikap dan perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai moral dan akhlak. Hal ini bisa terlihat dengan bertambahnya intensitas tindak kriminal dan melakukan kekerasan agar keinginan tercapai, apatisme dan tidak takut menjalani hukuman,bersikap asosial dan antisosial disertai dengan perilaku yang beringas dalam sensi-sendi kehidupan bermasyarakat.Upaya perbaikan etika moral dan akhlak harus dimulai dengan adanya keteladanan terutama dari pemimpin bangsa dan negara serta tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan yang paling utama tokoh atau pemuka agama dalam kehidupan sehari-hari, seluruh permasalahan bangsa sulit akan berhasil diatasi apabila tidak disertai adanya panutan dan suri tauladan terutama dari diri pribadi masing-masing.Adapun kemajuan phisik yang dicapai saat ini juga akan membawa gejala sosial yang disebabkan upaya modernisasi, pada saat itulah terjadi perubahan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menimbulkan pergeseran nilai yang berakibatkan ketidakpastian pada norma dan nilai etika. Oleh karena itu dalam pembangunan nasional yang perlu mendapatkan super prioritas adalah pembangunan etika, moral dan akhlak sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kepribadian bangsa.Kajian : Kenali Diri Pribadi; Intropeksi diri apakah niat, ucapan dan perilaku sudah sesuai ?

REALITAS POLITIK


1. Melemahnya "social trust" di kalangan masyarakat;
2. Euforia reformasi masih belum mereda (menjurus ke pada anti demokrasi);
3. Orientasi elit terfokus pada perjuangan kekuasaan;
4. Parpol cenderung masih bertumpu pada figur, bukan kepada mekanisme organisasi;
5. Sistem kepartaian yang ekstrim pluralis, tidak kondusif bagi terciptanya sistem pemerintahan yang stabil;
6. Banyaknya partai tidak selaras dengan garis afiliasi politik masyarakat Indonesia;
7. Penegakan hukum yang lemah di atas aturan yang multi-interpretasi.

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Warga Negara Indonesia, Darah Banten