Rabu, 06 Mei 2009

Pembangunan Berbasis Nilai


Pendahuluan:
Mc Iver pakar sosiologi politik pernah mengatakan:“Manusia adalah mahluk yang dijerat oleh jaring-jaring yang dirajutnya sendiri”. Jaring-jaring itu adalah kebudayaan. Mc Iver ingin mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diciptakan oleh masyarakat (socially constructed) tetapi pada gilirannya merupakan suatu kekuatan yang mengatur bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan “pola tertentu”. Kebudayaan bahkan bukan hanya merupakan kekuatan dari luar diri manusia tetapi bisa tertanam dalam kepribadian individu (internalized). Dengan demikian kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia dari luar dan dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah nilai-nilai (values) yang merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika) serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari system nilai inilah kemudian tumbuh norma yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia di dalam bermasyarakat.

Jelas dari uraian diatas bahwa kebudayaan merupakan unsur paling dasar (basic) dari suatu masyarakat, sehingga sampai sekarang sebagian sosiolog dan antropolog masih menganut faham cultural determinism yaitu bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya. Lawrence Harrison dalam bukunya “Culture Matters” menggambarkan bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia (Harrison, 2000). Samuel Huntington memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tigapuluh tahun kemudian Korea telah menjadi negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun dan saat ini GNP per capitanya hanya seperlimabelas Korea Selatan. Ini disebabkan (terutama) karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti: hemat, kerja keras, disiplin dsb. Semua tidak dimiliki masyarakat Ghana.

Perbandingan yang sama bisa juga kita lakukan antara Indonesia dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut merdeka pada tahun yang sama, keduanya sama-sama pernah dijajah oleh Jepang. Sekarang ekonomi dan kebudayaan Indonesia jauh tertinggal dari Korea Selatan. Malaysia yang sama-sama berkebangsaan melayu dan merdeka jauh setelah Indonesia, sekarang juga telah meninggalkan kita.Hal itu belum seberapai bila kita membandingkan diri dengan Singapore. Dalam hal ini tidak berlebihan bila kita menyebut kebudayaan Indonesia sebagai “kebudayaan yang terkalahkan” (defeated culture).

Apakah benar kita merupakan masyarakat dan bangsa yang ditakdirkan untuk terbelakang? Apakah ada yang salah pada kebudayaan kita? Apakah kita harus percaya pada cultural determinism? Pada derajat tertentu faham itu mungkin benar, karena banyak pakar telah menggambarkan bahwa bangsa kita memang memiliki kemiskinan budaya (cultural deficiency) seperti antroplog terkenal Koentjaraningrat serta budayawan terkenal Mochtar Lubis pernah mengupasnya sekitar tahun 70-an. Lalu, apakah kita harus berputus asa?. Apakah kebudayaan merupakan sesuatu yang melekat (inherent) pada suatu masyarakat?, apakah kebudayaan tidak mungkin dirubah atau dibangun?. Tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah:”Apakah kita memang telah membangun budaya kita selama ini?”. Apakah pembangunan kita yang pernah dijuluki sebagai salahsatu dari “the Asian miracle” ini telah membangun juga unsur-unsur budaya?, atau hanya sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata?. Tulisan ini bertujuan untuk melihat lebih jauh masalah pembangunan nilai-nilai di Indonesia serta mencoba untuk mencari format pembangunan yang lebih mengindahkan nilai-nilai.

Analisis situasi Perkembangan Budaya Masyarakat Indonesia.

Bila kita bertanya apa hasil pembangunan di masa orde baru hingga sekarang, maka kita akan mendapatkan berbagai angka-angka perkembangan ekonomi dan daftar panjang sejumlah sarana-prasarana fisik yang telah dibangun. Bagaimana dengan perkembangan sosial budaya kita? Beribu-ribu sekolah, perumahan, Rumah Sakit dan rumah ibadah telah dibangun, tetapi mampukah kita menjawab secara terukur perkembangan kwalitas kehidupan sosial atau budaya kita? Misalnya: ”Apakah masyarakat Indonesia semakin rukun?, semakin mandiri?, semakin peduli?. Sebagian besar orang pasti akan menjawab “tidak”, tetapi tak seorangpun bisa menentukan sejauhmana kemerosotan itu?, karena semua itu memang tidak pernah diukur. Beberapa gejala menonjol dari proses perkembangan nilai-nilai di Indonesia saat ini adalah:

Jurang antara Nilai ideal dan nilai aktual

Apakah masyarakat Indonesia tidak memiliki nilai-nilai luhur?, nilai-nilai adiluhung?, tentu saja punya!, sebut saja Pancasila yang dikagumi banyak bangsa lain, setiap daerah juga punya nilai tradisional yang dibanggakan. Tetapi kita tahu bahwa semua itu hanya merupakan “nilai ideal” (ideal values) sementara itu kehidupan kita sehari-hari dikendalikan dan diarahkan oleh seperangkat nilai-nilai lain seperti materialisme, pragmatisme, egoisme (baik pada tingkat individu, kelompok, daerah, sektor dsb.), hedonisme, permissiveness, opportunisme, primordialisme, dogmatisme. Nilai-nilai inilah yang kita anggap sesuai untuk mempertahankan “survival” di masyarakat modern saat ini. Ini semua adalah real atau actual values. Bangsa lain pasti juga mengalami kesenjangan antara nilai ideal dengan actual, tetapi pada masyarakat kita kesenjangan ini terasa amat dalam bahkan diametral, sehingga kita merasa menjadi bangsa yang munafik atau hipokrit. Pada masa Orde Baru kita menggalakkan penanaman Pancasila tetapi pada saat yang sama pimpinan negara sampai rakyatnya melanggar semua nilai-nilai itu. Di masa reformasi bangsa ini bertekad membasmi KKN, tetapi data menunjukkan bahwa korupsi di masa ini malah lebih merata daripada dimasa Orde Baru. Bangsa ini berteriak anti militerisme, tetapi budaya kekerasan dikalangan sipil semakin marak (semua parpol bangga dengan laskar-laskar sipilnya, budaya perpeloncoan yang sarat “kekerasan dan penyiksaan” terus bertahan di Universitas bahkan menjalar ke sekolah menengah dsb.). (bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Warga Negara Indonesia, Darah Banten